Kamis, 10 Mei 2012

Cita-cita

Dampak tugas Produksi Iklan minggu ini.

Minggu ini, mahasiswa FISIPOL UGM, Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2009, Konsentrasi Komunikasi Strategis, mendapat tugas membuat campaign sebuah produk.
Sebuah brand susu yang telah berubah namanya dipilih saya dan teman-teman kelompok untuk dieksekusi dengan "cita-cita" sebagai big idea dari campaign ini.
Karena kebagian mengerjakan visual dari campaign ini, saya memandangi dokter, tentara, polisi, astronot, pilot, dan pramugari yang berdiri gagah dan anggun dilayar komputer selama berjam-jam, hingga sukses melayangkan pikiran saya ke 15 tahun silam, ketika saya masih menggunakan rok bunga-bunga bertali dan kuncir air mancur.
Mainstream memang, tapi ketika itu, cita-cita saya tentu saja jadi dokter. Pakai jas putih dan kaca mata. "Apalagi kalau bukan keren?", begitu pikir saya. Seiring berjalannya waktu, saya juga pernah ingin jadi pramugari. Buset, pada waktu itu saya pasti sedang tidak tahu diri. Lalu, ketika gemar menggambar, saya berkeinginan menjadi arsitek. Tidak peduli nilai IPA saya disekolah bagaimana, yang jelas saat itu arsitek terlihat paling kece dibanding profesi apapun karena Ia bisa menggambar denah rumah sendiri. Kemudian, saya juga pernah ingin menjadi insan pertelevisian ketika saat itu saya melihat tayangan sebuah award di televisi yang menampilkan hingar bingar backstage.. "Enak bisa ketemu artis" begitu pikir saya.

Kini, saya berada di tahun ke-3 perkuliahan saya, dan sering mengalami keresahan tentang cita-cita. Tentang apa yang akan saya lakukan setelah lulus dari bangku perkuliahan, dimana saya akan tinggal, dan yang paling penting, apa pekerjaan saya nanti.
Sebagai seorang mahasiswi komunikasi strategis, seharusnya saya berorientasi untuk menjadi seorang PR atau insan periklanan. Namun apa yang terjadi? Saya malah ingin menjadi astronot, agar bisa terbang ke Bulan. Tapi, saya lebih ingin menjadi wartawan atau fotografer. Wartawan musik atau fotografer panggung. Harapan saya, ini bukan karena saya memang sedang panas-panasnya memotret panggung setiap akhir pekan, karena bukan tidak pernah saya mengalami krisis percaya diri dan kegalauan akademis mengenai konsentrasi perkuliahan dan korelasinya terhadap lintas cita-cita ini. Saya juga bukan tidak pernah merasa minder dengan diri saya sendiri, dengan hasil foto yang begitu-begitu saja, pengetahuan yang masih sangat terbatas, serta keluwesan berkomunikasi secara verbal dengan orang lain yang minim. Namun setiap energi dan kepuasan selepas acara yang saya kunjungi selalu saja berhasil menggiring saya lebih giat menulis; lebih dekat dengan angan cita-cita tersebut.

Waktu itu, saya mengobrol dengan seorang fotografer panggung yang sedang mengudara namanya; Muhammad Asra. Dia begitu berpengalaman dan karya-karya yang Ia hasilkan tidak bisa diragukan. Dia bilang, "Suatu hari keterbatasan yang Astrini miliki, pasti bisa menjadi pijakan untuk meraih mimpi".
Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar